Cerita Anak Muda ‘Wong Kito’ Di Podium PBB

Alex Noerdin

Anak Muda “Wong Kito “, LebahMaster.Com – Menghadap langsung ke East River, mata akan langsung menangkap pemandangan Suburb Queens, salah satu borough  yang ada di New York City,  selain Manhattan, Brooklyn, The Bronx, dan Staten Island. Suburb Queens sendiri, adalah salah satu kawasan yang menjadi jantung dari Kota New York. Di sana,  terdapat New York Hall of Science Queens Botanical Garden dan Queens Museum of Art. Suburd Queen juga menjadi salah satu pusat wisata kuliner, segala masakan dari belahan dunia, tersedia di sini.

Pemandangan itulah yang akan dinikmati, jika berkunjung ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tempat pusat diplomasi dunia. Pada 14-15 November 2013, di komplek PBB, digelar pertemuan bertajuk, “Annual Parliamentary Hearing at the United Nations,”. Indonesia hadir sebagai peserta.  Satu delegasi dikirim diketuai, Dodi Reza Alex Noerdin, dengan anggota Hidayat Nur Wahid, Helmy Fauzy dan Vanda Sarundajang.

Di gedung Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc), acara dilangsungkan, tak jauh dari kantor Dewan Keamanan organisasi bangsa-bangsa tersebut. Ruangan pertemuan, baru saja direnovasi. Interior ruangannya pun menjadi lebih modern, cukup menampung 203 delegasi, sangat lapang dan megah. Terdapat sebuah lounge yang menghadap langsung ke East River. Dari lounge itu juga, dari kejauhan lekuk-lekuk dari Suburb Queens bisa ditangkap mata. East River, sungai jernih yang lebarnya kira-kira sama dengan sungai Musi di Palembang.

Ya, di komplek itu, tempat pusat diplomasi internasional, Dodi didaulat untuk memberikan pidato di atas mimbar markas PBB. Sebuah mimbar, yang diimpikan banyak tokoh di dunia. Dan Dodi menjadi salah seorang yang bisa berdiri diatas mimbar itu, bahkan memberi pandangannya. Padahal, di negerinya sendiri, Dodi bukanlah politisi yang kerap berbunyi nyaring, banyak berstatemen di koran ataupun langganan tampil di layar televisi. Nama Dodi, sayup-sayup saja terdengar. Publik mungkin, lebih mengenalnya sebagai anak kandung dari Gubernur Sumatera Selatan. Tapi siapa nyana, politisi yang terlihat ‘pendiam’ itu, berpidato dengan cerdasnya, bahkan dalam bahasa Inggris yang fasih. Maklum  ia menguasai enam bahasa.

Tajuk utama dari Pertemuan itu sendiri adalah,”Rethinking Sustainable Development: The Quest for A Transformational Global Agenda in 2015”.  Dalam sesi bertajuk, “A New Economic Model for Sustainable Development : Path Toward Well Being, “ Dodi tampil diatas mimbar. Di atas mimbar, Dodi, menyampaikan beberapa pandangan terkait tema yang dibahas.  Pandangan Dodi, mendapat sambutan dan apresiasi dari para panelis yang hadir, yang terdiri dari duta besar, anggota parlemen dan senator serta ekonom dari berbagai negara.

Dalam pidatonya, Dodi membeberkan pandanganya tentang model ekonomi baru untuk pembangunan  yang berkelanjutan  sebagai jalan menuju kesejahteraan.   Menurut dia, isu pembangunan berkelanjutan, adalah isu strategis yang harus dibahas serius. Indonesia sendiri, sebagai sebuah negara, tidak berhenti untuk memperbaharui komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan.

Kita tidak seharusnya bertanya atau berpikir ulang  tentang pembangunan berkelanjutan. Tapi justru kita harus , berjuang bersama untuk mencapainya,” katanya.

Memberantas kemiskinan, menurut Dodi, tak semata hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, harus bertumpu kepada pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan itu, diperlukan strategi dengan fokus yang bertumpu kepada isu sumber daya alam , produksi pertanian dan perubahan demografis . Namun menurut Dodi, strategi ini, tak hanya memerlukan stabilitas keamanan, tapi juga mesti memperhatikan keamanan energi , pangan , akses ke dukungan ekonomis , dan akses ke pendidikan. Dodi juga dalam pidatonnya, menjelaskan tentang strategi  empat jalur pembangunan yang ditempuh Indonesia. Empat jalur pembangunan  itu  pro growth, pro job, pro poor , dan pro lingkungan.

Empat jalur pembangunan itu sendiri, sebagai pengjewantahan dari strategi ekonomi hijau, sebuah strategi untuk memuluskan jalan menuju kesejahteraan. Ekonomi hijau, menurut Dodi, titik tekannya kepada efisiensi penggunaan sumber daya alam yang sepenuhnya dimanfaatkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, dan lebih penting lagi memberantas kemiskinan.  Ia berpandangan isu keberlanjutan mesti menjadi fokus dan tujuan  pembangunan. Dan lewat berbagai regulasi yang dihasilkan, DPR telah mencoba ikut berkontribusi  mewujudkan itu. Diantara regulasi yang sudah dihasilkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah beberapa undang-undang yang terkait dengan lingkungan, seperti UU No 4/1982 tentang Lingkungan, UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, UUU No  23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah  dan UU No  32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tidak hanya itu, kata Dodi, Indonesia juga  telah mengembangkan strategi pembangunan ekonomi rendah karbon. Menurut dia, ini bagian integral dari pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang.  Untuk itu,  Indonesia, lanjut Dodi, berkomitmen untuk mengurangi gas rumah kaca dari sebesar 26 % menjadi 41 % dengan dukungan internasional pada tahun 2020 .

Sayang, cerita di New York itu, tak banyak yang tahu. Kisah anak muda Palembang, yang berdiri di atas mimbar PBB, hanya sayup-sayup terdengar. Jika pun ada berita, hanya dalam satu kolom kecil. Dodi memang tak banyak cakap. Karena itu, ia tak setenar koleganya di beringin, seperti Bambang Soesatyo, atau rekan kerjanya di Komisi III, seperti Syarifuddin Suding. Apalagi dengan Ruhut Sitompul yang kontroversial. Jejak rekam Dodi, adem ayem saja. Padahal di tanah kelahirannya, Dodi lumayan tenar, terutama di kalangan penggila bola. Ya, Dodi adalah orang dibalik kesuksesan Sriwajaya FC, klub bola asal tanah Musi.  Lewat tangan dinginnya, Sriwijaya FC menjadi klub yang disegani di Tanah Air.  Tidak banyak cakap, Presiden Klub Sriwjaya FC itu pun menyulap klub berjuluk Laskar Wong Kito, menjadi klub yang ditakuti lawan. Hasilnya,  tak kurang dari 10  gelar bisa diraih Sriwijaya FC.  Padahal bukan perkara mudah mengurus klub bola di Indonesia. Apalagi, sejak dilansir larangan klub bola tak boleh lagi disuapi dana APBD. Praktis, klub-klub bola mesti mencari sponsor untuk mendanai operasionalnya, mulai dari gaji pegawai hingga biaya melawat ke kandang lawan. Dan, itu memerlukan dana yang tak sedikit. Tapi demi eksistensi Laskar Wong Kito, Dodi siap berkorban apapun. Saat dana dari sponsor telat cair, Dodi pun turun tangan, rela menggadaikan rumah pribadinya. Dua kali Dodi melakukan itu. Dodi tentu tak ingin, ada cerita tragis di klub yang dibinanya, dimana pemain telat menerima gaji, atau bahkan berbulan-bulan tak menerima penghasilan. Seorang pemimpin, memang harus seperti itu,  rela mengambil resiko, ketika yang dipimpin tengah di dera masalah. Tapi di panggung politik, cerita Dodi, bukanlah sebuah cerita utama. Kisahnya terdengar sayup-sayup saja.

Padahal dari latar pendidikan, Dodi bisa dikatakan, bukan politisi tong kosong berbunyi nyaring. Lelaki  kelahiran Palembang, 1 Nopember 1970, adalah politisi dengan otak yang cemerlang.  Suami dari Thia Yusfada, itu adalah salah satu  lulusan terbaik dari Solvay Business School, Universitas Libre de Bruxelles, Belgia. Di universitas itu juga, ayah dari Atalie Mazzaya Alex dan Aletta Khayyara Alex meraih gelar S2-nya. Bahkan Dodi menggondol gelar dengan predikat magna cumlaude. Prestasi mengkilap di jalur pendidikan, diraih Dodi, bukan karena ia adalah anak dari Alex Noerdin, tapi  Dodi memang cerdas. Otaknya juga encer. Saat SMA, lelaki yang tercatat sebagai Member of the Canadian Red Cross Society British Columbia – Canada itu, mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengikuti Program Pertukaran Pemuda Antar Negara. Lewat program itu Dodi menginjakan kaki di negeri pembuat Blackberry, Kanada.

Lulus dari SMA, Dodi meneruskan sekolah ke Belgia. Ia meraih gelar sarjana ekonomi dengan predikat Grande Distinction atau High Honor, di sekolah ekonomi terkemuka Belgia. Bahkan skripsinya menjadi salah satu skripsi terbaik di sekolah tersebut. Skripsinya  meraih penghargaan Banque Bruxelles Lambert Prize Award, yakni penghargaan bagi karya skripsi terbaik se-Belgia.  Di jenjang S2, prestasi Dodi tak meredup, ia lulus dengan predikat magna cum laude.  Atas prestasinya itu, Dodi mendapat beasiswa fellowship di Institute of Technology (MIT) pada tahun 2010. Pengalamannya di dunia internasional juga cukup komplet. Ia menjadi salah satu orang yang mewakili Indonesia dalam ajang WTO Third Country Training Programme di Singapura.  Dua tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2010 dan 2011, Dodi mewakili Indonesia di ajang prestisius tersebut.  Tidak hanya itu, Dodi juga tercatat menjadi peserta dalam ajang Forum 100 Kepemimpinan Asia di Filipina tahun 2008.  Di dunia olahraga, kiprah Dodi tak sekedar berhasil mengantarkan Sriwijaya FC menjadi juara berkali-kali, tapi juga Dodi dipercaya menjadi salah seorang komisioner Konfederasi Sepakbola Asia (AFC). Di AFC, Dodi menjadi penyambung lidah klub sepakbola se-Indonesia.

Kiprahnya di jalur politik juga cukup komplet. Ia merintis jalur karir politik lewat Partai Golkar. Sampai kemudian pada pemilu 2009, ia berhasil meraih tiket ke Senayan. Di Senayan, Dodi pernah menjadi anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen atau BKSAP. Terakhir saat ini, ia tercatat sebagai Anggota Komisi III DPR RI. Dodi juga sempat bertarung menjadi Bupati di Kabupaten Musi Banyuasin. Di kabupaten ini, sang ayah, Alex Noerdin sempat menjadi bupati untuk dua periode. Sayang keberuntungan politik tak menghampirinya, ia kalah oleh sang incumbent, Fahri Azhari. Kini, Dodi sedang menatap peluang untuk kembali bisa berkiprah di Senayan. Masih dengan bendera Golkar, Dodi mencalonkan diri sebagai calon legislatif untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan I.

Benedict Anderson, seorang Indonesianis terkemuka dalam bukunya yang  berjudul, “Java in a time of Revolution : Occupation and Resistance”, mengatakan pemuda adalah kekuatan politik yang paling menonjol pada masa revolusi menjelang dan setelah kemerdekaan Indonesia. Dalam kata lain, sejarah panjang bangsa Indonesia selalu  dikaitkan dengan pemuda sebagai aktornya. Dan saat ini, setelah sekian lama Indonesia merdeka, peran anak muda semakin diperhitungkan dalam setiap fase sejarah. Di berbagai sektor kehidupan, kiprah anak muda menggeliat. Pun di panggung politik,  sudah banyak  anak-anak muda mencoba meniti jalur menuju puncak dengan berbagai bendera partai. Harapan pun muncul, lewat kiprah anak muda, lahir perubahan demi perubahan untuk Indonesia baru yang lebih baik lagi. Lewat kiprah anak muda pula sejarah republik ini banyak ditentukan.  Salah satu anak muda yang sekarang sedang mengisi panggung sejarah adalah Dodi, pemuda  yang pernah berdiri di mimbar PBB.

Baca Juga : Mimpi Alex, Berharap Lahir Rosihan Anwar van Sungai Musi

Dodi mungkin satu dari sekian anak muda yang sekarang sedang memberi bukti lewat panggung politik. Bukan jalan mudah memang, sebab kepercayaan publik terhadap para politisi sedang buruk-buruknya. Terlebih, setelah banyak politisi muda terseret kasus korupsi. Bila Dodi  bisa tetap menjaga diri dari godaan syahwat kekuasaan, terutama korupsi, mungkin suatu saat kelak, ia bakal kembali lagi ke New York, berdiri di podium terhormat markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai wakil Republik ini, dengan status yang lebih istimewa lagi, penyambung lidah rakyat. Sekali lagi dengan catatan, ia tidak korupsi.